Bloody Vampire; New Class [CHAPTER 3]

Title : Bloody Vampire; New Class

Author : Kimnekonnie

Cast :

Sin Haejin, 16 tahun.

Han Minjun, 17 tahun.

Genre : Fantasy, Romance

Rate : PG-13

Disclaim : Baru pertama kali buat cerita ‘Fantasy’, so… enjoy!

Happy reading!

[CHAPTER3]

Pukk!

“Omoo.. kau kenapa?”

Haejin hanya menggeleng pelan, kepalanya itu sekarang seperti melekat pada meja Minjun. Rasanya ia sangat malu dengan kejadian tadi, sampai kepalanya terasa sangat berat.

Minjun berdecak tak puas dengan jawaban Haejin, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Minjun membuka kotak makannya, bau daging cincang panggang itu menyeruak ke seluruh ruangan kelas, menggoda setiap indra penciuman.

“Yasudah. Aku mau makan,” dengan tatapan lapar, Minjun segera menyumpit potongan daging yang paling besar dan melahapnya, “Ahh.. lezatnya!”

Tak dipungkiri Haejin juga lapar, perutnya bahkan sudah berbunyi daritadi, ditambah bau enak dari makanan Minjun menggodanya. Dengan wajah masam, Haejin menegakkan kepalanya menatap Minjun. Dengan cepat, disambarnya sumpit Minjun. Ia juga ingin mencicipi masakan sahabatnya itu.

Tapi hampir saja potongan daging itu masuk ke mulutnya, Minjun menahan tangannya.

“Ya! Itu daging babi Haejin-ah,” tangan Haejin diarahkan Minjun berbalik menuju mulutnya.

Minjun tau bagi sahabatnya yang beragama Islam itu, memakan daging babi adalah dilarang, atau Haejin biasa bilang itu Haram. Minjun sebenarnya tak begitu mengerti, tapi Haejin dan mendiang ibunya itu harus makan sesuatu yang Halal. Haejin menghela nafas, bagaimana ia bisa teledor seperti itu.

Semua karena pria itu, mengingatnya saja sudah membuat Haejin naik darah. Menghentakkan kakinya kasar, “Aww..” tak sengaja lututnya mencium meja Minjun yang keras itu.

“Ya! Kau ini kenapa sih? Ceritakan padaku,”

“Aniyo,”

“Aish.. mana mungkin kau kesal begini kalau tidak ada apa-apa.”

Haejin menatap Minjun lama, bagaimana bisa ia menceritakan kejadian tadi, yang ada ia akan ditertawai sahabatnya itu habis-habisan. Bagaimana kalau Minjun malah penasaran dan mencarinya, karena pria itu sekolah disini juga. Haejin akan tambah malu nanti, ia tahu betul kebiasaan sahabatnya yang blak-blakkan itu.

“Tidak ada apa-apa, sudahlah makan saja,”

Haejin mengalihkan pembicaraan, sepertinya ia akan cerita pada Minjun kalau saatnya tepat.

-*-

Koridor sekolah sudah sepi, sudah hampir 30 menit yang lalu bel masuk jam pelajaran berbunyi. Tapi siswa berambut hitam pekat ini malah mendapat panggilan dari ruang guru yang mengharuskannya segera memenuhi panggilan itu. Haejin berjalan semampunya, rasanya ia ingin pulang saja. Harinya rusak karena pria yang membuatnya malu tadi. Bahkan ia tak bisa bercerita kepada siapa pun termasuk Minjun, rasanya Haejin ingin menghilang saja dari sini.

Tanpa disadari, kakinya membawanya sampai di depan ruang guru. Mengambil nafas panjang sebelum menggeser pintu kayu itu pelan, seperti de javu petama kali ia datang ke sekolah ini.

“Permisi…”

Ruang guru itu tampak sepi, sudah pasti mereka mempunyai ruang kelas untuk dimasuki. Tapi mata Haejin tak sengaja berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang sedari tadi nampak sibuk dengan kertasnya diujung ruangan. Wajahnya sangat bersih, warna kulit yang putih pucat itu sangat kontras dengan rambut coklatnya, tidak menampakkan bahwa wanita itu sudah tidak muda lagi.

Menghentikan aktivitasnya, tangannya berisyarat menyuruh agar Haejin mendekat. Dengan sedikit canggung Haejin mendekat ke arah wanita itu perlahan, Apakah ia pernah berbuat kesalahan?

“Annyeong, Sin Haejin imnida,”

“Jangan terlalu formal,” wanita itu tersenyum, bahkan ia lebih cantik saat tersenyum.

“O-oh mianhae,”

Haejin menggaruk tengkuknya, pikirannya banyak mengeluarkan pertanyaan kenapa ia bisa dipanggil kesini. Dia sangat takut jika ada siswa yang melaporkannya karena ia disangka penguntit pria tadi, andwe!

“Haejin-ah, kau tau kenapa dipanggil kemari?”

“Aniyo, seonsaengnim,”

“Mulai besok, kau akan pindah kelas,”

“H-ha?”

“Ayahmu, dia ingin kau masuk ‘Diamond Class’ disini, jadi kau terpaksa harus pindah besok, gwaenchana?”

Haejin mematung, ayahnya tak pernah berbicara sedikit pun tentang ini. Bukannya tak suka, hanya saja Haejin sudah nyaman dengan kelas barunya, teman – temannya juga sangat baik, dan kelasnya dekat dengan kelas Minjun.

“Hm.. seonsaengnim?”

“Ya?”

“Disini ada ‘Diamond Class’? Aku tak mengerti,”

Wanita yang dipanggil ‘seonsaengnim’ itu kembali tersenyum, mengambil beberapa berkas di laci dalam laci mejanya. Memberikannya pada Haejin yang masih sangat bingung dengan kejadian mendadak ini.

“Kau akan mengerti besok, kau bisa kembali ke kelasmu sekarang, oh ya jangan lupa besok bawa berkasmu itu ke kelas yang baru, dan bawa ini juga..” wanita itu memberikan sebuah tas berisikan seragam berwarna biru dongker yang warnanya sangat berlawanan dengan seragamnya yang berwarna merah.

Seragam itu satu set dengan seragam olahraganya yang juga hanya berbeda warna saja dengan seragam olahraga Haejin yang sekarang, juga dengan label nama yang sudah tercantum namanya. Semua sudah dipersiapkan.

Tapi, Haejin seperti tak asing dengan seragam biru dongker ini, Ia seperti pernah melihatnya..

“Karena kau pindah ke kelas itu, kau juga harus ganti seragam,”

Perkataan wanita itu membuyarkan lamunan Haejin, Haejin menatap seragam itu lekat. Dia akan tetap bersekolah disekolah yang sama, dan gedung yang sama, yang tak Haejin mengerti kenapa harus ganti seragam seperti ini.

“Nde? untuk apa?”

“Ya, untuk membedakan saja,”

“Tapi—”

“Sudah kembali ke kelasmu, besok kau harus memakainya, kelas akan mulai pukul 3 sore sampai jam 8 malam, dan aku wali kelasmu yang baru,”

“Mwo? Kelas apa yang mulai pada jam 3 sore?” Haejin nampak tak percaya apa yang ia dengar.

Tapi wanita itu malah berdiri, tangannya mengelus pundak Haejin pelan, “Panggil aku Kang Seonsaengnim,” tersenyum kembali, sambil matanya mengisyaratkan untuk menyuruh Haejin kembali ke kelasnya. Haejin sebenarnya masih ingin menyakan banyak hal pada guru aneh itu, pertanyannya tadi bahkan belum dijawab, dan Haejin yakin ia tak pernah melihat guru itu sebelumnya.

Setelah beberapa langkah, sebelum keluar ruangan itu, Haejin ingat. Bukankah ia besok harus ke kelasnya yang baru? tapi, wanita itu tak memberitahunya dimana kelas yang disebut ‘Diamond Class’ itu.

Haejin berbalik untuk menanyakannya, “Maaf, bagai—”

Tapi, wanita itu mengilang.

Haejin membelalakkan matanya. Bahkan baru 10 langkah ia mengalihkan pendangannya dari wanita itu, kini ia sudah hilang entah kemana. Walaupun wanita itu berlari, pasti masih bisa Haejin lihat.

Bulu kuduk Haejin berdiri, sekujur tubuhnya merinding. Secepat kilat Haejin berlari meninggalkan ruangan itu.

Disudut ruangan, seorang pria menunjukkan smirknya mengintip dibalik ruangan kaca sedikit buram itu, “Semua berjalan sempurna,” kemudian menghilang.

-*-

Deru nafas tak teratur Haejin sampai bisa terdengar, dari sekolah tadi hingga ke rumahnya, ia berlari tak karuan. Haejin sangat penasaran, ingin segera bertanya pada ayahnya apa tujuannya memindahkannya tiba-tiba seperti itu, dikelas yang terdengar aneh, apalagi dengan wali kelas yang sangat menakutkan.

“Aku pulang,”

“Ya, Nona Sin,”

“Bibi, appa mana?”

“Appa ada diruang kerjanya, nona,”

Haejin melepaskan sepatunya yang sampai terlempar jauh, memberikan tasnya ke Bibi Hwang, tak lupa memberikan kecupan tanda terima kasih pada pipi seseorang yang sudah ia anggap sebagai Ibu, teman, sampai saudaranya sendiri. Bibi Hwang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan seorang anak SMA yang tak jauh berbeda dengan adiknya itu.

Haejin berlari, ke ruangan kerja ayahnya, membuka pintu itu penuh semangat hingga berbunyi keras.

Brakk!

“Ya! Appa jantungan,”

Haejin tak peduli, dan segera berlari ke samping ayahnya itu. Menatap ayahnya lama, Ayah Haejin yang ditatap anaknya lama merasa tak nyaman. Tak seperti biasanya Haejin langsung menemuinya seperti ini.

Menarik nafasnya panjang, Haejin ingin segera tau apa tujuan ayahnya.

“Apa appa yang membuatku pindah kelas?”

Ayah Haejin sontak kaget mendengar ucapan anaknya, tak menebak kalau Ia akan tahu secepat ini. Baru tadi pagi ia menyuruh sekolah untuk menyiapkan kepindahan Haejin, tapi Haejin malah sudah diberitahu.

“Kata teman appa, disekolah itu ada kelas yang bagus untukmu,”

“Teman appa? Nugu?”

“Kau tak perlu tahu, yang penting kau harus belajar dengan keras disana, kelas yang terkenal misterius, tapi menghasilkan penerus unggulan,” Ayah Haejin menarik nafas panjang, meneruskan kalimatnya, “Appa ingin kamu segera mampu menggantikan appa.”

“Aku akan belajar dengan keras, tapi kenapa harus pindah, aku sudah punya teman-teman yang baik appa,”

“‘Diamond Class’ itu terbaik untukmu Haejin-ah, kau juga bisa mencari teman baru yang baik disana, kau pasti akan menyukainya,”

“Tapi, appa—”

“Haejin-ah, sekali ini saja ya turuti appamu ini, ne?”

Haejin terhenyuh, memang selama ini ayahnya tak pernah menuntut apapun padanya. Ayahnya itu sangat memanjakannya, bahkan Haejin tak pernah dimarahi. Tapi baru sekali ini ia dapat melihat mata ayahnya nampak sangat berharap padanya. Haejin sangat sayang pada satu-satunya orang tuanya itu, Haejin tak mau menyakiti perasaan ayahnya, walaupun dengan berat hati ia menerima.

“Heum.. baiklah,”

“Nah seperti itu, itu baru anak appa,” Ayah Haejin menyunggingkan senyum yang lebar,

“Tapi, bukankah kelas itu aneh? kelas apa yang mulai pada jam 3 sore?”

“Hmm, sistemnya memang aneh, appa juga tidak mengerti,”

Haejin mengerutkan dahinya, Ia sangat tidak percaya ayahnya rela begitu saja memasukkan dirinya ke sebuah tempat yang bahkan ayahnya itu tak memahaminya. Haejin mendengus, kenapa semua pertanyaan dikepalanya tak terjawab. Dengan siapa lagi dia harus bertanya?

“Tapi appa—”

Tepat saat telephone ayahnya berdering, bangkit dari tempat duduknya, mengelus kepala Haejin pelan, “Kau akan baik-baik saja,” berjalan keluar sambil menjawab panggilan tadi.

Haejin sangat sangat tidak mengerti akan semuanya saat ini. Ia tak menemukan titik terang apapun, saat ia bertanya pada teman-teman disekolahnya pun, semuanya nampak enggan untuk membicarakannya. Ada yang aneh tentang ‘Diamond Class’ itu.

Ia harus menyelidikinya.

TBC

Bloody Vampire; New Class © Kimnekonnie

Bloody Vampire; First Meeting [CHAPTER 2]

Title : Bloody Vampire; First Meeting

Author : Kimnekonnie

Cast :

Sin Haejin, 16 tahun.

Han Minjun, 17 tahun.

Pria itu(?)

Genre : Fantasy, Romance

Rate : PG-13

Disclaim : Baru pertama kali buat cerita ‘Fantasy’, so… enjoy!

Happy reading!

[CHAPTER 2]

“Aku pulang..” Haejin menaruh rapi sepasang sepatu putihnya, dengan menggosok – gosokkan kedua tangannya mencari kehangatan ia berjalan cepat menaiki tangga menuju ke kamarnya. Belum terlalu jauh kakinya melangkah, matanya menangkap sesuatu tepat disebelah kanan bahunya. Membuatnya memandang lama, sebuah foto yang selalu menjadi favoritnya. Jarinya tergerak mengusap pelan wajah yang tersenyum menatapnya.

“Annyeong eomma..”

Menghembuskan nafasnya singkat sebelum melanjutkan langkahnya. Meski sudah 2 tahun ibunya itu meninggalkannya, tapi itu takkan pernah membuatnya lupa kasih sayang ibunya selama ini. Sangat sangat terpuruk menerima kabar bahwa kecelakaan maut merenggut nyawa seorang wanita yang dicintainya itu, sampai ia harus menggurung diri dikamar selama 2 minggu. Ibunya yang tak pernah memarahinya, yang selalu mendukung apapun keinginannya, dan ibunya yang juga sangat menyukai cerita fantasi seperti dirinya. Haejin akan selalu menyukai semua cerita berbau fantasi, karena itu satu – satunya kenangan yang membuat Haejin merasakan ibu bersamanya.

Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, tanpa sempat ganti baju, ia membuka bungkusan yang sedari tadi dibawanya. Sampul merah itu mencuat dari dalam plastik, dengan cermat Haejin memperhatikan novel itu. Aneh dan sangat misterius, sampai – sampai nama pengarangnya tak tercantum disitu. Mengerutkan dahinya untuk berfikir, sepertinya menarik.

Selembar ia membukanya, dilanjutkan lembar berikutnya, dan seterusnya. Nampak serius raut wajah Haejin membacanya, ia seperti membaca ensiklopedia, semua kalimat yang ia baca berisikan sesuatu yang ia tak ketahui. Seperti penulis itu sangat mengatahui tentang…. tentang Vampir.

“Haejin-ah,”

Seketika pikirannya buyar, suara pria paruh baya mengganggu fantasinya. Dengan cepat menandai yang terakhir ia baca, dan segera menemui seseorang yang memanggilnya tadi. Seseorang yang membawanya kesini, ke tempat asalnya, mencari kehidupan yang lebih baik. Ayah Haejin yang rela meninggalkan gelamornya hidup di negeri gingseng ini demi ibunya, namun kini harus kembali kesini karena terdesak ekonomi di Indonesia. Membawa kembali bergelar status Nona Muda.

“Ne, Appa?”

“Ini sudah waktunya adikmu pulang. Jemput dia, dia belum begitu mengenal tempat ini,”

“Tapi—”

“Sekali ini saja, Ne? Bibi Hwang sedang pergi,”

“Hah.. arraseo.”

Masih dengan menggunakan seragam sekolahnya, Haejin ijin keluar menjemput adiknya. Seharusnya ini tugas pembantunya, tapi melihat wajah lelah diwajah ayahnya ia tak berani menolak. Haejin masih bisa menjemput adiknya dengan berjalan kaki, sekolahnya tak terlalu jauh dari rumahnya.

-*-

Bersandar di dekat pagar sambil mengehentak – hentakkan kakinya pelan, sudah 3 lagu yang Haejin dengarkan melalui heatsetnya itu sambil menunggu adiknya. Terasa sangat lama bagi Haejin yang notabenenya tidak suka menunggu. Ia akan segera memarahi adiknya itu jika bertemu, membuat Haejin menunggu itu suatu kesalahan yang besar.

Tepat setelah lagu terakhir itu selesai, muncul seorang bocah laki – laki berkepala jamur dengan tas kuning yang kebesaran untuk ukurannya.

“Ya! Minhyuk-ah!”

Bocah tadi mengedarkan kepalanya, mencari suara yang memanggilnya tadi. Setelah matanya bertemu dengan mata Haejin segera bocah itu berlari menghampiri kakak satu – satunya itu. tak menyadari bahwa Haejin akan memarahinya.

Tapi seketika Haejin mengerutkan dahinya, adiknya itu menggandeng seorang perempuan berkepang dua. Dari rautnya nampak perempuan itu tak begitu suka tangannya ditarik Minhyuk.

“Noona, kenapa kau yang jemput?”

“Bibi Hwang pergi,” Haejin mengurungkan niatnya ingin memarahi adiknya itu, tak ingin membuat kesan buruk dimata teman adiknya.

Menggangguk – angguk pelan, menatap perempuan yang di tariknya, ia tersenyum, “Noona, kenalkan dia—”

“Yuna-ah!”

Suara bass mengintrupsi mereka, seorang pria dengan setelan kemejanya itu datang menghampiri Haejin dan adiknya. Dengan cepat ia menarik tangan adiknya dari genggaman Minhyuk, sedikit membuat Minhyuk kaget.

“Apa yang kubilang dengan berbicara dengan orang asing?” Pria itu nampak menyamakan tingginya dengan adiknya, dan mengusap kepala adiknya pelan.

Haejin yang tidak terima dibilang orang asing itu segera menarik Minhyuk, “Mianhae chogiyo, tapi adikku hanya ingin berkenalan dengan adikmu,” ucap Haejin sinis.

Pria itu menatap Haejin dari atas ke bawah, sangat mengintimidasi, membuat Haejin tidak nyaman. Pria itu menegakkan badannya dan mendekat kearah Haejin sampai ia harus mundur satu langkah.

“Jangan memanfaatkan keadaan,” suara bassnya sangat membuat bulu kuduk Haejin beridiri.

Tapi tunggu…? ‘memanfaatkan keadaan’?

“A-apa maksudmu?”

“Semuanya sia – sia, aku tak akan mengingatmu besok. Tapi untuk sekarang kau boleh bergembira dan memberitahukan seluruh teman – temanmu bahwa kau bertemu denganku.”

Haejin hanya mengedip – ngedip kan matanya mencerna kalimat yang panjang dari mulut pria itu. Sangat tidak paham apa yang pria berambut warna abu – abu itu maksudkan.

“Haa—?”

Belum sempat Haejin mengajukan pertanyaan yang kedua, pria itu sudah pergi meninggalkan Haejin dengan wajah kagetnya. Jangankan Minhyuk, Haejin saja yang diajak bicara tidak paham apa yang barusan terjadi dengannya.

“ORANG ANEH!!”

Semua orang kini menatap Heejin dan Minhyuk karena teriakan melengking dari Haejin. Minhyuk hanya berdecak, menyeret kakaknya yang kini menggerutu hingga membuat wajahnya nampak aneh.

-*-

“Namanya Yuna. Aku tidak begitu mengenalnya, tapi dia baik. Hanya dia yang membantuku saat aku terjatuh jam olahraga tadi, bahkan sekarang sudah tidak sakit lagi.”

Penjelasan adiknya sangat tidak membantu Haejin mengetahui siapa pria gila yang berbicara padanya tadi. Bahkan tak ada satupun kalimat pria itu yang ia pahami. Apa yang salah dengannya? Aissh… sungguh mengganggu pikirin Haejin.

Menghentak – hentakkan kakinya diatas ranjang berdominasi warna pink miliknya. Biasanya ia tak akan mengambil pusing tentang orang lain, apalagi yang tak ia kenal. Tapi entah kenapa pria itu sangat menyebalkan dimata Haejin dan membuatnya selalu ingat kejadian memalukan itu.

Drrt Drrt

Fr;Minjunnie

CERITAKAN PADAKU!!

Haejin mendengus saat melihat pesan dari Minjun. Bukannya sahabatnya itu mengangkat teleponnya, malah ia berakhir mengirim kotak suara. Sebenarnya rumah Minjun dekat dengan rumahnya, tapi ia terlalu malas keluar dengan suhu 8°C yang siap menyergap tubuhnya. Haejin sangat benci dingin.

To;Minjunnie

Kemana saja kau, ha? Shireo! Aku mau tidur.

Drrt Drrt

Fr;Minjunnie

Yak!! Jaga matamu! AKU AKAN KESANA, OKAY?!

“NO, ANDWE!!,” suara Haejin melengking,

“Ada apa nona muda?”

Oops. Sepertinya suara Haejin mengundang Bibi Hwang, sepertinya Haejin lupa kalau ini sudah hampir tengah malam.

-*-

Sekuat tenaga Haejin menahan kepalanya agar tidak jatuh diatas buku kimia tebal didepannya, matanya yang setengah menutup membuatnya hanya melihat setengah papan tulis yang penuh tulisan Park Seonsaengnim. Hampir saja ia ketahuan jika saja bel istirahat tidak datang seperti malaikat penyelamat dari langit.

Ocehan Minjun tentang pria yang Haejin temui itu membuat Haejin harus tidur jam 2 pagi. Kalau Minjun sudah bicara, maka tak akan ada yang berani memotongnya. Bahkan dari semua ocehannya, tak ada satupun yang membantu Haejin mengenali siapa pria itu. Mulai dari orang itu pasien rumah sakit yang suka menculik anak kecil, hingga seorang psikopat yang tertarik pada Haejin. Tak habis pikir, sebenarnya yang suka novel fantasi itu, Haejin atau Minjun?

Merapikan rambutnya sedikit, kemudian mengangkat pantatnya dari belaian kursi yang setia menopangnya selama 90 menit tadi. Bersenandung pelan mendekati lokernya yang ada dipojok deretan pertama tumpukan loker yang sedikit karatan itu. Haejin janji pada Minjun untuk makan bersama di kelas Minjun kali ini.

Setelah mengeluarkan kotak bekal berwarna maroon yang masih hangat dari tasnya, mengunci loker itu kembali. Ketika hendak keluar kelasnya, matanya menangkap sesosok yang menarik perhatiannya. Mematung seperkian detik, sampai seketika mulutnya membulat,

“ORANG ANEH!!”

Sedikit berlari mengejar orang yang membuat Haejin memikirkannya semalam suntuk. Dengan nafas terengah – engah, ia berhasil menarik baju belakang pria itu, hingga membuatnya harus terhenti.

Dengan nafas tak teratur, Haejin berhasil membuat pria itu menatapnya. Sebenarnya bukan hanya pria itu, sontak seluruh murid yang menyaksikan aksi Haejin jadi ikut menyaksikannya. Haejin tidak peduli dan merapikan kembali rambut hitamnya, sambil menunjuk pria itu.

“Kau! Aku tau siapa kau,”

Pria itu hanya menatapnya aneh, menunjuk dirinya sendiri bingung.

“Iya! Orang aneh kemarin siang,”

“Hm.. Aku tak tahu siapa kau.”

“Yak! Mana bisa lupa? Aku yang kemarin bers—”

“Ahh.. aku tahu. Kau salah satu dari mereka kan? Kalau begitu tolong cepat berikan kertasmu, aku tak punya banyak waktu.”

“M-mwo?”

“Kau salah dari mereka kan? My fans, right?”

Haejin menganga tak percaya, bagaimana bisa ia dikira fans dari pria yang tak ia kenal sama sekali. Apalagi nada bicaranya yang sok berbahasa itu, membuat Haejin memutar matanya.

“Kau salah paham,”

“Ah.. Aku ingat. Kau yang kemarin berbicara dengan adikku, kan? Jangan mencari perhatianku dengan cara seperti itu. Kita masih bisa bertemu disekolah, tapi jangan dekati adikku,” wajah pria itu berubah menjadi serius. Matanya menyiratkan keseriusan ucapannya. Haejin tak mengerti kenapa tak boleh mendekati bocah perempuan berkepang itu, tapi tatapan pria itu menakutinya.

Tapi tiba-tiba, mendekatkan wajahnya ke arah Haejin, kemudian berpalih tersenyum, “Jadi tanda tangannya tidak?”

Haejin kembali berdecak, “Tidak, aku bu—”

“Jangan malu. Aku beri tanda tangan disini saja, okay?”

Dengan cepat, tanpa sempat dihalau Haejin, tinta spidol milik pria itu yang entah darimana asalnya menghiasi kotak makannya yang sedari tadi ia pegang. Berjalan cepat meninggalkan Haejin yang masih mematung.

Sebelum terlalu jauh, pria itu berbalik, “Lain kali kalau ingin menguntit, jangan memakai seragam, Sin Haejin.”

Haejin semakin tidak percaya apa yang terjadi padanya, kotak makan kesayangannya sekarang kotor, dan ia disangka penguntit. Mengutuk sambil memukul kepalanya sendiri, kenapa ia tak ganti baju dulu saat menjemput adiknya kemarin, dan harunya tidak langsung mengejar pria itu begitu saja tadi.

Menarik label namanya sebal, menaruhnya didalam kantong. Melangkah malas ke kelas Minjun, pria yang Haejin tak liat label namanya tadi sukses membuat hari Haejin menyedihkan dengan suara bisik – bisik banyak murid yang melihatnya tadi.

TBC

Bloody Vampire; First Meeting © Kimnekonnie

 

Bloody Vampire; Is that true?

Title : Bloody Vampire; Is that true?

Author : Kimnekonnie

Cast :

Sin Haejin, 16 tahun.

Han Minjun, 17 tahun.

Genre : Fantasy, Romance

Rate : PG-13

Disclaim : Baru pertama kali buat cerita ‘Fantasy’, so… enjoy!

Happy reading!

[CHAPTER 1]

Memegang tas ransel pink miliknya erat, matanya menatap kesegala arah tak menentu, mulutnya tak berhenti mengutuk dirinya sendiri karena malah tersenyum saat satu-satunya orang yang dia kenal di gedung ini meninggalkannya. Surai hitam yang menutupi setengah punggungnya itu ikut bergoyang saat ia memukul kepalanya sendiri. Mencari suatu ruangan yang dapat membantunya saat ini, dan itu bak mencari duri ditumpukan jerami, ah bukan – ditumpukan manusia. Entah sudah berapa kali bahunya tersenggol, sampai ia harus mengelusnya pelan. Sampai bibirnya tersenyum saat melihat ruangan bertuliskan, Kantor Guru.

Mengintip apakah kehadirannya menganggu atau tidak, barulah gadis itu masuk perlahan mendekati meja guru terdekat.

“Permisi..”

“Ya?”

“Saya Amelia Agustin, murid pindahan dari Indonesia, kalau bo—“

“Oh ya, anak baru. Ke meja sebelah sana,”

Nampak bingung ucapannya diputus, gadis itu memilih mengikuti arah yang ditunjuk pria paruh baya itu. Berdiri di depan meja itu cukup lama, tapi pemiliknya nampak masih sibuk dengan telephone di telinganya. Helaan nafas keluar dari bibirnya, dia mengalami hari yang buruk.

“Kau,”

Terkejut sambil menatap orang yang sudah selesai dari telephonenya itu, “Y-ya?”

“Murid baru dari Indonesia?”

Gadis itu mengangguk cepat, mungkin wajahnya sangat menunjukkan bahwa dia bukan dari negara ini.

“Kau terlambat 5 menit, tapi beruntung karena guru yang mengajar juga bernasib sama denganmu. Ini lebel namamu, kaitkan di sebelah kanan atas bajumu, kau sudah bisa membaca hangul kan? Jika berada di lingkungan sekolah mencoba untuk memakai nama yang tercetak di label namamu. Oh ya, kau membawa arsipmu?”

Mengerjap – ngerjapkan matanya, nampak bahwa otaknya masih mencerna sederet kalimat yang baru didengarnya tadi. Wanita dengan dua cicin emas dijarinya itu, mengerakan tanganya, meminta sekali lagi arsip yang diinginkannya. Dengan segera membuka tas pinknya dan mengeluarkan map putih pucat, menyerahkannya cepat.

“Kau bisa langsung ke kelas, jangan berisik, tunggu guru kalian datang.”

“Kelas? Tap—“

“Cepat,”

Kedua kalinya ucapannya terputus, sedikit mendengus dan pergi dari hadapan wanita didepannya, keluar dari ruangan itu. Bagaimana bisa ia mencari ruangan kelasnya sendiri, jika ia tak tahu sama sekali ruangan di sekolah ini. Berjalan pelan menyusuri lorong yang saat ia berangkat tadi masih ramai anak – anak yang berseragam sama dengannya berkeliaran. Kalau saja ia tadi tak terpisah dengan Minjun – temannya. Ia pasti tak akan terlambat 5 menit seperti ini.

Duaag!

Buku yang dibawa orang yang menabraknya jatuh berhamburan di lantai, dengan cepat gadis itu membungkuk dan mengumpulkan buku yang jatuh. Orang yang menabraknya nampak mengomel dan ikut membantunya.

“Kau ini! Kenapa tak masuk kelas, eoh? Ini sudah masuk!”

“Maaf, saya tidak tahu. Saya murid pindahan, apa—“

“Oh jadi itu kau, ikut denganku!,” menatap jam di lengan kirinya, “Aish, aku sudah telat!”

Ketiga kalinya! Ucapannya dipotong. Tak biasakah ia meneruskan kalimatnya, sekali saja?

Mendengus dan mengikuti pria yang menabraknya, yang ia duga pasti guru yang telat masuk ke kelasnya itu. Sedikit kesal, tapi ia ingin berterima kasih padanya karena menemukannya disana, sangat berterimakasih. Dan satu lagi, untuk telat, sehingga ia tak perlu diimarahi.


Memasuki kelas yang bertuliskan ‘X A’ di atas pintunya itu, sekejap suara berisik yang yang tadi terdengar sampai luar itu hilang. Semua anak telah duduk rapi dan nambak berbisik – bisik. Siapa lagi kalau bukan membicarakan gadis yang mengikuti Guru Park masuk ke kelas.

“Selamat Pagi,”

“Selamat Pagi, Pak.” balas mereka nyaring.

“Maaf bapak telat, kau tau kan kalau ada penutupan di sebagian jalan, itu sangat membuat macet.”

Anak – anak nampak tak peduli dan tak sedikit yang bersorak dalam hati karena penutupan jalan itu. Berharap kalau itu bisa terus membuat orang yang dihadapan mereka itu terus telat.

“Disini, ada murid baru. Dari Indonesia, dia cukup fasih berbahasa Korea, jadi kalian tak perlu sungkan berbicara dengannya,” menatap gadis itu, “Perkenalkan namamu.”

“Annyeonghaseyo, Sin Haejin imnida.”

“Annyeonghaseyo,”

Mereka menatap Amel – lebih tepatnya Haejin dengan ramah. Itu cukup membuat Haejin lega, pikiran tentang drama yang ia lihat semalam tidak benar, anak baru sasaran empuk untuk pembully-an. Setelah dipersilahkan untuk duduk Haejin segera menempati tempat duduk yang kosong di belakang. Tidak buruk untuk kesan pertamanya.

Pelajaran dimulai dengan biasa. Tak susah bagi Haejin yang notabenenya cukup pandai itu mengikutinya.


Bel pulang, bahkan belum sampai bel itu berhenti, para murid dari segala kelas berhamburan keluar. Gadis yang di dada kanannya nampak label bertuliskan ‘Sin Haejin’ itu menata bukunya cepat, bukannya ingin segera pulang, hanya saja ia ingin mampir ke sebuah toko yang tadi ia lihat disebrang jalan. Novelnya sudah habis, bahkan sudah banyak yang ia baca dua kali. Jangan salah, bukan buku novel romantis picisan yang Haejin suka, novel yang bertema fantasi yang menarik hatinya. Dari mulai bercerita pohon berlapis emas, segala jenis warewolf, sampai yang bercerita tentang para kurcaci aneh bersihir.

Baru beberapa langkah keluar dari kelasnya, tasnya ditarik hingga ia hampir terjengkang, siapa lagi kalau bukan, “Minjun!”

“Hehehe.. maafkan aku, aku benar – benar harus menyalin tugas dari guru yang bertaring itu, kalau tidak aku dimarahi.”

“Salah siapa tidak mengerjakan dirumah.”

“Aku kan terlalu bersemangat, sahabatku kembali tinggal di Korea,” Minjun menyenggol lengan Haejin sambil tersenyum menggoda, konyol.

“Hmm…,” bergumam sambil menyamakan jalannya dengan Hyeri, “aku ingin ke toko disebrang sana, mau ikut?”

“Tentu saja! Sebagai tanda maafku, aku traktir satu buku, bertemakan yang paling aneh, mengerikan, dan tidak menarik itu.”

“Yak! Itu bagus Minjun!”

MInjun menjulurkan lidahnya dan berlari mendahului Haejin, sedangkan yang diejek hanya tersenyum nampak akan menendang orang didepannya dari jauh.

Sesampainya di depan toko buku tua itu, dua orang anak SMA Cheundeong tadi menghentikan langkahnya. Gadis berambut coklat kepang dua itu menatap ngeri ke arah Haejin, sedangkan yang ditatapnya nampak biasa saja dan tak peduli. Haejin sangat bersemangat membayangkan banyak buku tua yang menegangkan disana. Kadang Minjun berfikir bahwa sahabatnya mempunyai kepribadian yang menyimpang.

Bunyi lonceng saat ia memasuki pintu membuat bulu kuduk Minjun berdiri, kalau bukan karena ingin meminta maaf pada sahabatnya itu, ia tak ingin masuk kedalam sana. Haejin segera menuju ke rak buku yang ada diujung ruangan, bertuliskan ‘Novel’. Memilih satu persatu tanpa henti, wajah Haejin dihiasi senyum saat mengetahui hampir setengah dari novel disana bertemakan fantasi.

“Haejin, cepatlah sedikit.”

“Sabar. Kenapa kau tak duduk dan menunggu saja disana?” menunjuk kursi kosong di dekat kaca.

Dengan berat hati Minjun menurut dan duduk disana. Untuk ukuran toko tua, toko itu cukup bersih, walaupun tak banyak mengunjuk yang datang dan ia tahu kenapa, hampir setengah dari toko ini gelap, apakah mereka sedang kehabisan listrik?

Setelah sekitar 30 menit, akhirnya Haejin menemukan buku yang ia tunjukkan pada sahabatnya itu.

“Pure Blood? Oh yang benar saja Haejin, Vampir?”

“Ini menarik, aku belum pernah membaca cerita vampir sedetail ini. Belikan untukku ya?”

“Terserahlah, yang penting kita segera pergi dari sini.”

Mereka berdua berjalan ke arah kasir yang dijaga pria aneh misterius. Pria itu mengambil buku yang dipilih Haejin, menatapnya dan bergantian menatap Haejin. Sambil memproses buku yang bersampul merah itu, pria itu sesekali tersenyum.

“Pilihan yang menarik,” pria itu menatap Haejin.

“Aku hanya penasaran bagaimana vampir itu.”

“Kenapa tak tanyakan langsung saja.” pernyataan yang mampu membuat mata Haejin terbelalak.

“Maksudmu?” kini Haejin tertarik dengan orang didepannya ini.

“Kau tak tahu? Vampir itu hidup beriringan dengan kita – manusia sudah lama, hanya saja ia menyembunyikan jati dirinya.”

“Pak tua! Kau mengigau ya?” Minjun nampak tak tertarik dengan percakapan omong kosong mereka.

“Kau akan segera mengatahuinya,”

Dengan tersenyum pria itu menyodorkan bungkusan plastik ke arah Haejin, senyuman penuh makna yang membuat Haejin penasaran. Dengan sedikit tarikan dari Minjun, mereka berdua keluar dari toko tersebut. Minjun berguman tidak jelas menanggapi perkataan pria tadi, sedangkan Haejin nampak berfikir.

“Apa benar vampir itu ada?”

Pletak!

“Aww..”

“Otakmu benar – benar sudah rusak karena novel mengerikanmu itu,”

“Tapi—“

“Sudah cepat, aku ingin es krim!”

Setidaknya Haejin tak bergitu menyesal kembali ke negara yang dulu pernah ia tinggali 5 tahun, negara yang pernah menjadi saksi biksu bagaimana bayi Haejin mencoba berjalan. Entahlah perkataan pria tadi benar atau sekedar gurauan saja, tapi itu sudah sanggup membuat kacau pikiran Haejin.

TBC

Bloody Vampire; Is that true? © Kimnekonnie

Hello, Mr. Stranger!

Title : Hello, Mr. Stranger!

Author : Kimnekonnie

Cast : Anggi, Octa

Rate : PG-13

Disclaim : hanya sekedar menceritakan kembali cerita yang dialami teman.

Happy reading~♥

Bagus sekali. Ini sudah mulai petang, dan aku belum bersiap untuk pulang.

“Anggi, pulang yuk? Ini udah sore, dan aku harus pulang.. hmm maksudku kita semua harus pulang.”

“Ohh ya.. kita pulang sekarang.”

Kehidupan SMA yang baru kujalani, sangat membuatku bingung. Banyak hal yang masih harus aku pelajari tentang kehidupan SMA itu. Salah satunya, jadwal pulang yang tertera di peraturan tidak menunjukkan ketepatannya.

Tak akan bisa kita pulang kerumah dengan senyum di wajah dan berkata pada bunda bahwa, “Bunda, aku pulang sesuai jadwal.”

Ini tak akan terjadi. Trust me.

Aku sudah merasakan sendiri bagaimana kutukan ini terjadi, dan disinilah aku. Masih dengan baju, tas, dan wajah yang sama saat tadi pagi aku berangkat ketempat ini. Padahal sebentar lagi petang.

Aku melangkahkan kakiku agak cepat menuju parkiran. Tak mau gerimis ini merusak niatku untuk pulang. Ada beberapa teman yang memilih untuk menunggu di depan, ada juga yang menuju parkiran juga, sama denganku. Tentu saja karena mereka juga naik sepeda motor.

Oranye, kecil, bersinar, dan perfect.

Itu motorku. Tak mau aku membuang waktu lagi, dengan segera aku tancapkan kunci sakti ini untuk menghidupakan motorku.

But..

Wait..

Are you kidding me? Motornya tidak menyala seperti yang seharusnya. Aku tak tahu apa yang salah, sampai akhirnya mataku menuju huruf ‘E’ yang tertera di depanku.

That’s the problem.

Aku kehabisan bensin. Benar-benar kehabisan bensin. Aku bingung, dan aku akan benar-benar merusak hariku kali ini.

“Kenapa Anggi?”

“Kayaknya aku kehabisan bensin deh.”

“Benar-Benar habis?”

“Iya tuh, padahal gerimis. Mau cari bensin dimana?”

“Ohh.. Tenang aja, kita bakal nungguin kamu. Sampai hujan reda, nanti baru kita cari bensin.”

Aku yakin 200% kalau hujan ini akan awet, dan tentu saja perkiraanku tak akan meleset. Aku merasa tak enak dengan teman-temanku, tapi tak dipungkiri aku juga membutuhkan mereka.

Huft…. Aku menatap cemas jam tangan pink yang ada ditanganku. Ayolah, tak ada satu pun ide yang terlintas di otakku mengenai situasi ini.

“Ehh minggir.. itu kakak kelas mau lewat.”

Teman-teman nampak memperingatkanku dan sedikit menarikku minggir. Okay, kesalahanku karena tak fokus melihat ada orang yang bahkan itu didepanku sendiri.

“Kenapa dek sama motornya?”

Kulihat terdapat dua laki-laki yang aku yakin mereka itu kakak kelas yang tak kulihat tadi. Salah satunya nampak berdiri disampingku sambil mentapku ramah. Sampai membuatku kaget.

He’s really talking to me? to.. me?

Aku sangat tak mengenal dia, atau siapapun teman yang ada disampingnya. Dan dia benar-benar bicara padaku.

“Ku kira aku kehabisan bensin.”

Kulihat mulutnya membentuk huruf ‘O’ sambil menatap motorku. Aku masih perlu mencerna kejadian ini. Apakah aku pernah mengenalnya? Dimana? Kapan? Apakah kita pernah bicara sebelumnya? Aku rasa tidak.

Tapi aku kenal wajahnya. Orang yang menyapaku itu aku rasa namanya… Octa? I think. Hmmm.. teman sebelahnya itu aku benar-benar tidak tahu.

“Biasanya kalau habis bensinya, akinya juga ikut asat. Jadi gak bisa hidup..”

“Ohh ya? Buruk sekali hahaha..”

Aku hanya tertawa pelan mendengar itu. Oh, yang benar saja. Aku tak tahu apapun tentang mesin, atau hubungan antara bensin dan aki. Aku hanya ingin pulang kerumah sekarang juga.

“Hmm… kayaknya di sana ada bengkel motor.”

Tanpa pikir panjang dia segera mengambil alih motorku dan menuntunnya.

“Sini aku yang bawa motormu, biar motorku dibawa sama dia.”

Aku hanya menatap kaget tingkahnya. Apa-apan dia? Malaikat penolong? Tidak mungkin.

Temannya pun menatap dia sebal. Kurasa aku akan meminta maaf nanti.

Mau tak mau, karena satu-satunya alat yang bisa membawaku pulang sudah berada di tangannya. Aku harus mengikutinya, yah walaupun agak sedikit basah. Tapi setidaknya aku tak perlu capek-capek menuntun motorku.


Benar apa katanya, ada bengkel motor disitu lengkap dengan warung mie ayamnya.

Dibawanya tanpa ragu motorku ke sana. Entah apa yang dia bicarakan dengan tukang bengkel itu, aku tidak mengerti.

Banyak juga anak laki-laki yang pastinya kakak kelas ada disana. Teman-temannya kurasa.

“Udah nunggu di warung situ yuk, masih lama itu kayaknya.”

“Hmm.. Okelah.”

Sebenarnya tadi aku baik-baik saja saat temanku juga mengikutiku sampai disini. Tapi kemudian tak berapa lama dia pamit ada acara keluarga.

Bagus sekali. Disini, di warung dengan anak-anak yang tidak aku kenal dan sepeda motor yang rusak.

“Mau makan?”

“Enggak perlu. Aku masih kenyang.”

“Kalau gitu kamu gak boleh nolak minuman hangat ini. Ini hujan dan aku gak mau kamu kedinginan.”

What?! Like he care so much about me.

Aku tak tahu apa maksudnya, yang aku tahu maksudnya baik. Kenapa kita harus menolak sesuatu yang menguntungkan?

Dia mulai membuka pembicaraan lagi dan kami mulai mengobrol. Seperti ada atmosfer berbeda diantara kami yang membuat teman-temannya tadi terhiraukan.

Entah kenapa aku merasa seperti ini. Kenapa orang asing. Biasanya aku tak menanggapi perkataan orang yang tak ku kenal, atau bahkan mengacuhkannya.

Tapi… aku seperti terhipnotis padanya. Aku hanya tidak tahu apa yang terjadi padaku.


Motorku beres dan itu membuyarkan semua percakapanku dengannya.

“Nah udah beres tuh.. Mau pulang?”

“Iyalah, daritadi niatnya juga gitu.”

“Hahaha.. Rumahmu kearah mana?”

“Sana…”

Dia nampak berfikir, kemudian menatap jam yang melingkar di tangan kanannya. Mentapku sambil tersenyum.

“Ini sudah malam, ku antar ya?”

“Eeh? Gak perlu deh.. Aku bisa sendiri kok. Udah terima kasih banget mau anterin ke bengkel tadi.”

“Hahaha.. Santai aja. Ini ikhlas kok, lagian kapan lagi bisa dianterin cowok kayak aku?”

“Haa? Hahaha… hmm terima kasih.”

“Oke.”

Karena hari sudah gelap, aku tak akan menunggu lebih lama lagi. Untung saja hujan sudah reda, jadi kami tak  perlu terhambat hujan. Entah, hanya saja aku merasa nyaman dan aman saat dia mengantarku pulang.

Oh.. Okay, lupakan itu Anggi!

Dia hanya seorang laki-laki yang mau berbuat baik saja padamu. Jangan berfikir yang aneh-aneh.

Tapi apa mungkin dia berbuat itu dengan tidak sengaja? Maksudku murni membantu? Apa dia tidak bermaksud yang lain?

Mungkin, tertarik atau semacamnya.. atau.. Oh God, aku memikirkannya lagi.

Kenapa aku tidak bisa fokus pada jalan didepanku? Aishh…


“Jadi…. ini rumahmu?”

“Ya, seperti itulah.”

“Hmm…”

Nampak ada sedikit kecanggungan disini. Memang seharusnya dari awal ini memang sudah salah.

Baru saja kenal, motorku dibawa paksa, mengobrol tak jelas, dan sekarang dia sudah berada di depan rumahku. Ini sungguh salah.

Bunda sering memperingatkan adik tentang, “Jangan mau diajak sama orang yang tidak dikenal.” Tapi untuk saat ini, aku rasa perkataan itu cocok diutarakan padaku.

“Masuklah, ini sudah malam.”

‘Hey! Kalau kamu masih disitu gimana aku bisa masuk?’ aku ingin berbicara tepat di depan mukanya sekarang.

Jangan bertingkah aneh lagi dihadapanku. Kau tau rasanya saat ini seperti, seorang laki-laki yang mengantar pacarnya pulang.

Cukup.

“Kamu pulang aja. Makasih banget udah mau nganter. Hati-hati dijalan!”

“Hmm… mengusir? Okay, no problem. See you tomorrow.”

Segera dihidupkannya mesin motor matik itu, dan nampak melihatku sekali lagi dibalik helmnya. Setelah itu, dia mengendarai motornya menjauh.

Aku hanya bisa menghela nafas, akhirnya berakhir juga semua masalah ini. Tapi entah mengapa di dalam hatiku, aku merindukannya?

Maksudku, ya.. dia baik, dewasa, menjagaku, aku rasa dia tak buruk juga. Walaupun aku belum mengenalnya sepenuhnya, apalagi yang aku tau hanya nama panggilannya saja.

Kakak kelas yang cukup menarik. Memang aku belum mengenal sekolah itu dengan baik, tapi aku rasa aku akan mencoba.

Dia orang teraneh yang pernah aku temui. Jadi…

Astaga! Aku masih memikirkannya. Arrghh…

—————————————————————————————————

Hello, Mr. Stranger! © Kimnekonnie

Drabble : Bad Grades!

Title : Bad Grades!

Author : Kimnekonnie

Cast : Kim Minran, Park Taejun

Genre : Romance, Fluff

Rate : PG-13

Disclaim : character belong to them self, but this storyline and fanfiction is mine.

Okay, happy happy happy reading~♡

Membenarkan kacamataku yang turun. Mataku kembali terpaku pada lembaran-lembaran kertas di depanku, membaca setiap kalimat yang tercantum disana. Ini liburan, memang agak aneh aku yang notabenenya anak yang jarang belajar membawa buku, apalagi saat liburan.

Tentu saja ini semua karena aku frustasi. Bagaimana tidak, beberapa jam yang lalu umma mengambil nilai rapotku, dan tercantumlah nlai-nilaiku disana.

Sangat mengecewakan.

Bahkan bisa dibilang itu buruk. Itu yang membuatku harus belajar mati-matian sekarang. Aku tak mau menangis, tak akan merubah apapun. Aish~

Mengacak rambutku kasar, menjatuhkan kepalaku di ata meja. Sebanyak apapun aku membaca, tetap tak akan ada yang masuk di kepalaku. Apa aku terlahir bodoh, eoh?!

“Minran, kamu di dalam?” suara umma terdengar dengan ketukan di depan kamar. Segera, dengan malas aku menegakkan tubuhku dan membuka pintu.

“Wae?”

“Lihat siapa yang datang..”

Aku mengerutkan dahiku, siapa yang datang? Seingatku aku tak mengundang siapapun. Sedikit berlari ke depan, penasaran siapa yang datang di hari yang sangat buruk ini. Gezz..

Saat pintu kubuka, terlihat di depanku seorang namja dengan setelan hoodie hitamnya. Aku mendengus, dengan sekejap aku tau siapa dia. Dengan cepat aku hendak masuk kembali kedalam, tapi tangan itu menahan pintunya.

“Chakkaman..”

Percuma saja aku memaksa masuk sekarang, dia tak akan menyerah. Aku membelakanginya, ku lipat kedua tanganku di dada.

“Mau apa?”

Sebagai tuan rumah yang baik, mau tak mau aku harus menjamunya selayaknya tamu. Tapi aku tak akan bersikap lembut kali ini, kekesalan konyolku masih tercipta untuknya.

“Hey, apa salahku?”

Wajahku memerah seketika, sontak kubalikkan badanku. Kini dia menatapku dengan tampang bodohnya. Maluku sudah di ubun-ubun sekarang, malu dan kesal. Aku ingin mengucapkan sesuatu untuk membelaku, tapi mungkin dia akan menertawakanku karena ini.

Ku julurkan lidahku ke arahnya, sedetik kemudian aku berlari ke kamar.

“Ehh?”

Ku acuhkan protes darinya. Setidaknya kalau aku ke kamar, dia tak akan bisa menerjaiku.

***

Aku menutup telingaku dengan bantal. Suara gedoran pintu dan teriakannya sangat menggangguku. Aku salah, ternyata dia berani mengerjaku sampai sini.

“Yah! Buka! Minran!”

Aish… laki-laki itu keras kepala juga. Sudah berapa kali aku berteriak menyuruhnya pulang, tapi tak didengar sedikitpun.

Brug!

Sontak aku bangun, dan menurunkan bantal dari kepalaku. Well, pintu kamarku sudah terbuka lebar-lebar. Yap! dia mendobrak pintu kamar. Aku mendengus kesal, melemparnya dengan bantal.

“Salahku apa hey?!”

Dia memekik saat bantal itu tepat mengenai wajahnya. Aku terdiam, kemudian menundukkan kepalaku. Dia beranjak duduk disampingku, sebelah tangannya menggaruk tengkuknya. Menatapku dengan bingung.

Segera aku memeluknya kemudian menangis.

“Eh? Wae? Ceritakan padaku, eum?”

Aku menggeleng, masih memeluknya erat. Dia menghela nafas, kemudian mengeluarkan handphone dari sakunya.

“Kau tau? Tadi ummamu telpon, kamu mengurung diri di kamar. Saat tau itu, aku langsung ke sini dari nonton bola di rumah Minho.”

“Umma?”

“Iya, ummamu khawatir. Padahal tadi chelsea sudah hampir mencetak gol…!”

“Nyebelin! Sana sama chelseamu itu! Biarin aku disini sendiri, aku gak butuh kamu. Taejun jahat!”

Memukul-mukul dadanya, menyuruhnya keluar kamar. Tapi dia malah terkekeh, kemudian kembali meraih tubuhku dipelukannya.

“Haha.. jangan cemburu. Chelsea tak akan bisa ku peluk, bahkan tak akan bisa kucium. Bagaimana bisa ia di bandingkan denganmu?”

Oke. Dia mulai menggombal. Aku memutar mataku jengah, masih bisa-bisanya dia menggombal disaat seperti ini.

“Balik ke permasalahan utama. Kamu kenapa?”

Kembali ke masalah ini, sedikit malas membahasnya. Aku menjauh darinya, mendudukan pantatku di atas kursi di depan meja belajar.

“Nilai rapotku jelek.”

Taejun, namja yang berstatus pacarku itu melepaskan jaketnya. Kemudian menaruhnya di atas ranjangku.

“Biasanya juga begitu kan?”

“Ini serius Park Taejun!”

Kalau dia bukan orang yang mampu membuat dadaku berdesir, sudah ku buang dia di tengah laut. Taejun tertawa, berjalan menghampiriku. Memelukku dari belakang, kedua tangannya meraih tubuhku.

“Lalu?”

Aku menggigit bibirku gugup. Tak mungkin aku berkata jujur padanya. Taejun mengerutkan dahinya, melepaskan pelukannya. Meraih kursi yang tak jauh darinya kemudian menariknya dekat denganku.

“Ceritakan darl~”

Alright, kalau Taejun sudah memanggilku dengan sebutan ‘Darl’, tandanya dia sudah serius membahas ini. Aku mulai gugup menatapnya, sedangkan dia hanya menatapku dengan penasaran. Tampan.

“Kamu juara kelas?”

Taejun makin mengerutkan dahinya, menggaruk lagi tengkuknya. Tak dipungkiri, memang dia anak yang sangat pintar atau bisa dibilang jenius. Bahkan mungkin, tanpa membuka buku dia bisa menjawab pertanyaan itu.

“Iya. Apa masalahnya eoh?”

“Masalahnya? Oh itu sangat jadi masalah. Seperti biasa si bodoh dan si jenis. Aku pusing memikirkan itu. Sekeras apapun aku belajar, tapi tetap tidak bisa menyamaimu. Seluruh teman-teman membicarakan kita.”

Aku merengut sebal, aku benci harus mengatakan ini. Aku malu padanya.

“Bukankah kamu sudah biasa? Maksudku, jangan dengarkan orang lain. Biasanya juga seperti itu kan?”

Taejun melepas kacamatanya sebentar, membersihkan bagian kacanya yang berembun sebelum akhirnya kembali di pakai.

“Tapi kan bentar lagi kita lulus. Selama tiga tahun ini ku selalu mendapat nilai yang buruk. Apa besok aku akan lulus?”

“Tergantung…”

Aku mendelik kearahnya. Apa maksudnya? Aku tidak akan lulus? Sebelum aku sempat protes, dia meraih kertas yang bereceran di atas meja belajarku.

“Apa ini fisika?”

Aku mengangguk pelan, dimata pelajaran ini aku mendapat nilai yang buruk. Ku raih kertas itu, lalu ku poutkan bibirku. Dia mau mengejek?

Taejun tersenyum, kemudian mendekatkan diri ke arahku.

“Sudah pakai gurus les privat?”

Aku menggeleng. Taejun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya seperti berkata kenapa-tidak-pakai-saja?

“Maless! Guru lesnya datang malam, aku mengantuk!”

Aku membela diri. Memang tak akan ada pelajaran yang masuk jika aku mengantuk, mau bagaimana lagi?

Tapi, tiba-tiba terlintas ide jail di pikiranku. Aku meraih tangannya.

“Kau jadi guru lesku ya? Siapa tau nanti aku ketularan, ya ya ya?”

Taejun mendelik. Raut wajahnya terlihat horor, saat aku merengek.

“Ya ya ya? Daaarrllll~”

Aku menunjukkan aegyoku. Taejun memalingkan wajahnya, aku tau cara ini pasti berhasil.

“B-baiklah.. Tapi dengan satu syarat.”

“Eh? Apa?”

“Aku minta dibayar!”

“Mwo?”

“Bukan dengan uang. Kalau kamu bisa masuk peringkat 50 sekolah, selama sebulan kamu harus menuruti semua yang aku minta, deal?”

Pletak!

“Aku babumu, eoh?”

Aku memukul kepalanya dengan buku. Dia hanya meringis.

“Yah! Jadi tidak?”

Aku mempoutkan bibirku, aduh.. apa aku harus menurutnya? Kalau dia minta yang aneh-aneh bagaimana? Mati aku!

Tapi demi ranking ku! Sepertinya tak ada cara lain lagi. Mau tak mau harus menurutinya.

“Oke! Deal!”

“Baiklah! Kalau berhasil kau akan jadi pacar penurut yang manis!”

“M-mwo? Andwee..!”

—————————————————————————————————

Bad Grades! © Kimnekonnie